Setelah Proklamasi
Pada masa proklamasi kemerdekaan indonesia 1945 sampai 1973,gedung
Eks-STOVIA dimanfaatkan sebagai tempat hunian bagi bekas tentara KNIL Belanda
yang berasal dari Ambon beserta keluarganya.
Gedung
STOVIA memjadi salah satu tempat
istimewa dalam sejarah perjalanan negeri ini,
karna menjadi saksi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan
yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong minahasa dan Jong Ambon
dan lain-lain. Di gedung ini juga beberapa tokoh pergerakan seperti Ki Hadjar
Dewanrata, Tjipto Mangoenkoesoemo, R. Soetomo dan masih banyak tokoh-tokoh
lainnya pernah menimba ilmu.
Mengingat
peristiwa-peristiwa sejarah penting pernah terjadi di gedung ini, maka ada
upaya untuk melestarikan gedung ini sebagai gedung bersejarah. Pada tahun 1973
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melakukan pemugaran bangunan secara
keseluruhan. Bangunan gedung Eks-STOVIA yang sudah beralih fungsi sebagai
hunian tempat tinggal, dikembalikan kondisinya seperti pada saat menjadi
sekolah dokter bumiputera. Sedangkan masyarakat atau keluarga Ambon yang sempat
menghuni gedung ini dipindahkan dan ditampung dikompleks perumahan di daerah
Cengkareng Jakarta Barat.
Kegiatan
pemugaran dan renovasi gedung Eks-STOVIA oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta
selesai dalam waktu satu tahun. Pada 20 Mei 1974 presiden soeharto meresmikan
penggunaan Gedung Eks-STOVIA sebagai gedung bersejarah yang diberi nama “Gedung
Kebangkitan Nasional” yang selanjutnya
pengelolaan dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah provinsi DKI Jakarta.
Sejak
diresmikannya Gedung kebangkitan Nasional, didalamnya deselanggarakan beberapa
museum yaitu Museum Pers, Museum Wanita Dan Museum Boedi Oetomo. Juga
dimanfaatkan untuk perkantoran-perkantoran swasta atau yayasan, antara lain oleh kantor Yayasan
Pembela tanah Air (YAPETA), Perpustakaan Yayasan Idayu, Yayasan Perintis
Kemerdekaan dan Lembaga Perpustakaan Dokumentasi Indonesia.
Karena di dalam
Gedung Kebangkitan Nasional ini pernah terjadi peristiwa sejarah yang sangat
penting bagi perjuangan bangsa Indonesia, mendorong Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta pada 27 September 1982 mengalihkan pengelolaan gedung ini ke
pemerintah Pusat yaitu melalui Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kondisi Gedung Kebangkitan Nasional yang kokoh dengan usianya
yang cukup lama serta memiliki nilai sejarah dan nilai aristik,maka pada 12
Desember 1983 Pemerintah menetapkan gedung ini sebagai Benda Cagar Budaya.Penetapan ini membawa konsekwensi gedung ini harus
tetap dilestarikan, dipelihara, dan tidak boleh dirombak.
Pada 17 Februari 1984 Menteri pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidiikan dan Kebudayaan Nomor 03/0/1984 tentang Struktur organisasi dan tata kerja
Penyelenggaraan museum di dalam Gedung Kebagkitan Nasional dengan nama Museum
Kebangkitan Nasional.
Guna
memfungsikan gedung Kebangkitan Nasional sebagai museum, maka museum-museum
yang ada yaitu Museum Boedi Oetomo, Museum Kesehatan, Museum Pers dan museum
Wanita dilebur menjadi Museum
Kebangkitan Nasional.Dalam Pengembangan selanjutnya kantor-kantor swasta
yang terdapat di dalam gedung dipindah ke luar gedung, dan ruangan perkantoran
yang sudah kosong tersebut dipergunakan untuk pengembangan pameran tetap
museum.
Sehubungan dengan
adanya transisi organisasi dibidang kebudayaan, pada 13 Desember 2001 kemudian
menjadi Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata sehingga berpengaruh terhadap unit
di bawahnya termasuk UPT Museum Kebangkitan Nasional. Dengan demikian Museum Kebangkitan
Nasional merupakan Unit Pelaksana Teknik
dari Kementrian,Kebudayaan,dan pariwisata di bawah Direktorat Jenderal Sejarah
Dan Purbakala yang teknis pembinaannya berada dibawah Direktorat Museum, hal
ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor:P.32/OT.001/MKP-2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Kebangkitan
Nasional.
Awal Berdirinya
Pendidikan Kedokteran
Keberadaan Museum Kebangkitan Nasional tidak dapat dilepaskan
dari awal keberadaan pendidikan
kedokteran di Indonesia. Awal berdirinya pendidikan kedokteran tersebut ada
kaitannya dengan tersebarnya wabah penyakit menular pada 1847 di daerah
Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut seperti tipes, kolera,
disentri dan lain-lain tidak dapat dibrantas oleh tenaga medis yang ada masa
pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya sangat terbatas, begitu juga dengan
cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu dengan cara tradisional, sehingga
ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan yait
Dr. W. Bosch untuk
mendidik beberapa anak Bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda. Pada 1849
keluar keputusan Gubernemen yang menetapkan bahwa dirumah sakit militer akan
dididik 30 pemuda Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca
bahasa Melayu dan Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (menteri
cacar). Selesai pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan
sebagai menteri cacar.
Bulan
Januari 1851 berdirilah Sekolah Dokter Jawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden
dengan masa pendidikan 2 tahun. Pendidikan diikuti 12 orang yang semuanya
Berasal dari Pulau Jawa. Menteri
pelajaran meliputi cara mencacar dan memberikan pertololongan pada penderita
sakit panas dan sakit perut.Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda.
Pada 5 Juni 1853 Sekolah Dokter Jawa meluluskan 11 pelajar
dan menyandang gelar Dokter Jawa.Mereka dipekerjakan sebagai menteri cacar,
diperbantukan di Rumah Sakit dan membantu dokter militer merangkap dokter
sipil.
Sejak
tahun 1856 Sekolah Dokter Jawa mulai menerima murid yang berasal dari luar
Pulau Jawa, yaitu dari Minangkabau
(Sumatera) 2 orantg dan Minahasa (Sulawesi) 2 orang.
Tahun 1864 lama pendidikan Sekolah Dokter Jawa ditingkatkan
dari 2 tahun menjadi 3 tahun dengan jumlah siswa dibatasi 50 orang. Perubahan
ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja
sendiri dibawah pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun
pengabdian para dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa di masyarakat mendapatkan
penolakan dari beberapa dokter Belanda, sehingga sejak tahun 1864 pemerintah
kolonial mencabut wewenang praktek dokternya, dan memperkerjakan mereka sebagai
mantri cacar. Perubahan besar terjadi pada tahun 1875 karena lama pendidikannya
ditingkatkan menjadi 7 tahun, dengan jumlah murid 100 orang.
Berdirinya STOVIA
Tahun 1899 atas usul Dr.
H.F Roll dibangun gedung baru.Pembangunan gedung ini mendapatkan bantuan
dari 3 orang pengusaha Belanda dari Deli yaitu, P.W Janssen, J. Nienhuys dan
H.C van den Honert. Bulan September 1901 di Betawi muncul wabah penyakit
beri-beri dan kolera dan juga menimpa para pelajar Sekolah Dokter Jawa,
sehingga pemindahan pelajar dari rumah sakit militer Weltevreden ke gedung baru
di Hospitaalweg tertunda.
Pada 1
Maret 1902 gedung baru tersebut mulai resmi digunakan untukl STOVIA (School Tot
Opleiding Van Indlandsche Artsen) yaitu Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera.
Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa. Selama menjalani
pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal didalam asrama yang menerapkan
sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat. Jadwal kegiatan sudah ditentukan
dari pagi sampai malam hari, bagi mereka yang melanggar ketentuan akan
mendapatkan hukuman sesuai dengasn kesalahan yang diperbuatnya. Pelajar yang
masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat perjanjian (acte van verband). Isi
surat tersebut akan mengikat lulusan STOVIA untuk bekerja pada dinas pemerintah
selama 10 tahun berturut-turut, dimana tenaganya diperlukan. Kalau tidak, ia
bersama orang tua atau walinya akan mengembalikan biaya pendidkan selam 9 tahun
pada pemerintah. Namun, pada perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan
pelajar-pelajar masih melangsungkan pendidkannya sehingga diantara mereka
banyak yang berhenti dan sekolahpun kekurangan murid. Sehingga surat perjanjian
tersebut ditinjau kembali dan akhirnya ketentuan itu hanya diberlakukan pada
pelajar yang baru diterima. Setelah itu proses pendidikan pun berlangsung
normal kembali. Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya, buat mereka yang
mengakhiri pendidikan dengan baik di STOVIA tidak lagi bergelar dokter jawa
melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Mereka berwenang memperaktekan
ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan. Jumlah pelajar STOVIA terus
bertambah dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka perlu dibangun
gedung baru sebagai tempat pendidikan dan praktek pelajar STOVIA. Tahun 1919
berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba yang
dipimpin oleh Dr. Hulskoff. Dirumah sakt inilah dijadikan sebagai tempat
praktek pelajar STOVIA karena sarana dan prasaranannya lebih lengkap dan
modern.
Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan
STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba yang sampai sekarang dikenal dengan
“Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia’’. Sedangkan STOVIA lama
dipergunakan untuk asrama pelajar. Pada 1925 gedung STOVIA lama tidak lagi
dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra, tapi
menjadi tempat pendidikan untuk MULO
(setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan sekolah Apoteker. Dan Masuknya bala
tentara Jepang pada tahun 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai
tempat kegiatan belajar mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar