It's Amazing

Minggu, 03 Mei 2015

 Setelah Proklamasi
               Pada masa proklamasi kemerdekaan indonesia 1945 sampai 1973,gedung Eks-STOVIA dimanfaatkan sebagai tempat hunian bagi bekas tentara KNIL Belanda yang berasal dari Ambon beserta keluarganya.
               Gedung STOVIA  memjadi salah satu tempat istimewa dalam sejarah perjalanan negeri ini,  karna menjadi saksi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong minahasa dan Jong Ambon dan lain-lain. Di gedung ini juga beberapa tokoh pergerakan seperti Ki Hadjar Dewanrata, Tjipto Mangoenkoesoemo, R. Soetomo dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya pernah menimba ilmu.
               Mengingat peristiwa-peristiwa sejarah penting pernah terjadi di gedung ini, maka ada upaya untuk melestarikan gedung ini sebagai gedung bersejarah. Pada tahun 1973 Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta melakukan pemugaran bangunan secara keseluruhan. Bangunan gedung Eks-STOVIA yang sudah beralih fungsi sebagai hunian tempat tinggal, dikembalikan kondisinya seperti pada saat menjadi sekolah dokter bumiputera. Sedangkan masyarakat atau keluarga Ambon yang sempat menghuni gedung ini dipindahkan dan ditampung dikompleks perumahan di daerah Cengkareng Jakarta Barat.  
                 Kegiatan pemugaran dan renovasi gedung Eks-STOVIA oleh         pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta selesai dalam waktu satu tahun. Pada 20 Mei 1974 presiden soeharto meresmikan penggunaan Gedung Eks-STOVIA sebagai gedung bersejarah yang diberi nama “Gedung Kebangkitan  Nasional” yang selanjutnya pengelolaan dilaksanakan oleh pemerintahan Daerah provinsi DKI Jakarta.
Sejak diresmikannya Gedung kebangkitan Nasional, didalamnya deselanggarakan beberapa museum yaitu Museum Pers, Museum Wanita Dan Museum Boedi Oetomo. Juga dimanfaatkan untuk perkantoran-perkantoran swasta  atau yayasan, antara lain oleh kantor Yayasan Pembela tanah Air (YAPETA), Perpustakaan Yayasan Idayu, Yayasan Perintis Kemerdekaan dan Lembaga Perpustakaan Dokumentasi Indonesia.
      Karena di dalam Gedung Kebangkitan Nasional ini pernah terjadi peristiwa sejarah yang sangat penting bagi perjuangan bangsa Indonesia, mendorong Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada 27 September 1982 mengalihkan pengelolaan gedung ini ke pemerintah Pusat yaitu melalui Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kondisi Gedung Kebangkitan Nasional yang kokoh dengan usianya yang cukup lama serta memiliki nilai sejarah dan nilai aristik,maka pada 12 Desember 1983 Pemerintah menetapkan gedung ini sebagai Benda Cagar Budaya.Penetapan ini membawa konsekwensi gedung ini harus tetap dilestarikan, dipelihara, dan tidak boleh dirombak.
Pada 17 Februari 1984 Menteri pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidiikan dan Kebudayaan Nomor 03/0/1984   tentang Struktur organisasi dan tata kerja Penyelenggaraan museum di dalam Gedung Kebagkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
            Guna memfungsikan gedung Kebangkitan Nasional sebagai museum, maka museum-museum yang ada yaitu Museum Boedi Oetomo, Museum Kesehatan, Museum Pers dan museum Wanita dilebur menjadi Museum Kebangkitan Nasional.Dalam Pengembangan selanjutnya kantor-kantor swasta yang terdapat di dalam gedung dipindah ke luar gedung, dan ruangan perkantoran yang sudah kosong tersebut dipergunakan untuk pengembangan pameran tetap museum.
      Sehubungan dengan adanya transisi organisasi dibidang kebudayaan, pada 13 Desember 2001 kemudian menjadi Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata sehingga berpengaruh terhadap unit di bawahnya termasuk UPT Museum Kebangkitan Nasional. Dengan demikian Museum Kebangkitan Nasional merupakan  Unit Pelaksana Teknik dari Kementrian,Kebudayaan,dan pariwisata di bawah Direktorat Jenderal Sejarah Dan Purbakala yang teknis pembinaannya berada dibawah Direktorat Museum, hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:P.32/OT.001/MKP-2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum Kebangkitan Nasional.

Awal Berdirinya Pendidikan Kedokteran
Keberadaan Museum Kebangkitan Nasional tidak dapat dilepaskan dari awal keberadaan  pendidikan kedokteran di Indonesia. Awal berdirinya pendidikan kedokteran tersebut ada kaitannya dengan tersebarnya wabah penyakit menular pada 1847 di daerah Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut seperti tipes, kolera, disentri dan lain-lain tidak dapat dibrantas oleh tenaga medis yang ada masa pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya sangat terbatas, begitu juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu dengan cara tradisional, sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan yait
Dr.  W. Bosch untuk mendidik beberapa anak Bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda. Pada 1849 keluar keputusan Gubernemen yang menetapkan bahwa dirumah sakit militer akan dididik 30 pemuda Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (menteri cacar). Selesai pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan sebagai menteri cacar.
                     Bulan Januari 1851 berdirilah Sekolah Dokter Jawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan 2 tahun. Pendidikan diikuti 12 orang yang semuanya Berasal dari        Pulau Jawa. Menteri pelajaran meliputi cara mencacar dan memberikan pertololongan pada penderita sakit panas dan sakit perut.Bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda.
Pada 5 Juni 1853 Sekolah Dokter Jawa meluluskan 11 pelajar dan menyandang gelar Dokter Jawa.Mereka dipekerjakan sebagai menteri cacar, diperbantukan di Rumah Sakit dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil. 
               Sejak tahun 1856 Sekolah Dokter Jawa mulai menerima murid yang berasal dari luar Pulau Jawa, yaitu  dari Minangkabau (Sumatera) 2 orantg dan Minahasa (Sulawesi) 2 orang.
Tahun 1864 lama pendidikan Sekolah Dokter Jawa ditingkatkan dari 2 tahun menjadi 3 tahun dengan jumlah siswa dibatasi 50 orang. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja sendiri dibawah pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun pengabdian para dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa di masyarakat mendapatkan penolakan dari beberapa dokter Belanda, sehingga sejak tahun 1864 pemerintah kolonial mencabut wewenang praktek dokternya, dan memperkerjakan mereka sebagai mantri cacar. Perubahan besar terjadi pada tahun 1875 karena lama pendidikannya ditingkatkan menjadi 7 tahun, dengan jumlah murid 100 orang.

Berdirinya STOVIA
Tahun 1899 atas usul Dr.  H.F Roll dibangun gedung baru.Pembangunan gedung ini mendapatkan bantuan dari 3 orang pengusaha Belanda dari Deli yaitu, P.W Janssen, J. Nienhuys dan H.C van den Honert. Bulan September 1901 di Betawi muncul wabah penyakit beri-beri dan kolera dan juga menimpa para pelajar Sekolah Dokter Jawa, sehingga pemindahan pelajar dari rumah sakit militer Weltevreden ke gedung baru di Hospitaalweg tertunda.
               Pada 1 Maret 1902 gedung baru tersebut mulai resmi digunakan untukl STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Artsen) yaitu Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera. Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa. Selama menjalani pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal didalam asrama yang menerapkan sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat. Jadwal kegiatan sudah ditentukan dari pagi sampai malam hari, bagi mereka yang melanggar ketentuan akan mendapatkan hukuman sesuai dengasn kesalahan yang diperbuatnya. Pelajar yang masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat perjanjian (acte van verband). Isi surat tersebut akan mengikat lulusan STOVIA untuk bekerja pada dinas pemerintah selama 10 tahun berturut-turut, dimana tenaganya diperlukan. Kalau tidak, ia bersama orang tua atau walinya akan mengembalikan biaya pendidkan selam 9 tahun pada pemerintah. Namun, pada perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan pelajar-pelajar masih melangsungkan pendidkannya sehingga diantara mereka banyak yang berhenti dan sekolahpun kekurangan murid. Sehingga surat perjanjian tersebut ditinjau kembali dan akhirnya ketentuan itu hanya diberlakukan pada pelajar yang baru diterima. Setelah itu proses pendidikan pun berlangsung normal kembali. Pada 1909 STOVIA berhasil meluluskan muridnya, buat mereka yang mengakhiri pendidikan dengan baik di STOVIA tidak lagi bergelar dokter jawa melainkan Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Mereka berwenang memperaktekan ilmu kedokteran seluruhnya termasuk kebidanan. Jumlah pelajar STOVIA terus bertambah dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka perlu dibangun gedung baru sebagai tempat pendidikan dan praktek pelajar STOVIA. Tahun 1919 berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff. Dirumah sakt inilah dijadikan sebagai tempat praktek pelajar STOVIA karena sarana dan prasaranannya lebih lengkap dan modern.

Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba yang sampai sekarang dikenal dengan “Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia’’. Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama pelajar. Pada 1925 gedung STOVIA lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra, tapi menjadi tempat  pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan sekolah Apoteker. Dan Masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan belajar mengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar